Minggu, 09 Juni 2013

Nasehat Yang Jitu



Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi’ah. Ia meminta nasehat Ibrahim agar ia dapat menghentikan maksiatnya. Ia berkata, “Ya Aba Ishaq, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh agar aku dapat menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu yaa Aba Ishaq?”
“Syarat pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rezeki Allah,” ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan darimana? Bukankah segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim dengan tegas. “Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara engkau terus menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?”
“Baiklah,” jawab Jahdar tampak menyerah. “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya,” kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal dimana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau uterus berbuat maksiat?” Tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishaq,” ucap Jahdar kmudian. “Lalu apa syarat ketiga?” Tanya Jahdar dengan penasaran.
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat sembunyi dari-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishaq, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu? Tanya Ibrahim kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi’ah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah yaa Aba Ishaq, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?”
“Jika Malaikat Maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa kau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal soleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua  perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin… tidak mungkin semua itu aku lakukan.”
“Wahai hamba Allah, jika kau tak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak tanya lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, jika Malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu keneraka di hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan.
Dengan wajah penuh sesal ia berkata, “cukup…cukup yaa Aba Ishaq! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya.  Kezaliman merajalela.  Semua itu terjadi karena ulah Gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutnya Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk menghadap.  Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, “Wahai Jahdar kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya jika taubatmu itu disertai amal kebajikan.  Untuk itu, aku ingin engkau memberantas kezaliman  yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku.”
Mendengar pekataan Ibrahim bin Adham tersebut, Jahdar menjawab, “Wahai Aba Ishaq, sungguh anugrah yang sangat mulia bagi saya, di mana saya dapat berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi Gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, “Ya Allah ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolaknu.  Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya.”
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi’ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah untuk menegakkan keadilan.
Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
-Al-Islam-
Pusat informasi dan komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar